INDOBOLAKU - Sudah tiga tahun sejak aku membuka praktek dan semuanya berjalan dengan lancar seperti dokter umum pada umumnya. Pasien-pasien yang datang ke tempat praktekku mayoritas menderita penyakit ringan seperti radang, flu, sakit perut, atau gangguan pencernaan. Aku merasa senang karena hubunganku dengan para pasien sangat baik.
Mereka puas dengan hasil diagnosisku dan banyak dari mereka yang menjadi pasien tetap, artinya mereka sering kali berkonsultasi tentang kesehatan mereka kepada ku. Baru-baru ini, saat aku iseng memeriksa file-file pasien, aku terkejut mengetahui bahwa 70% dari pasienku adalah ibu-ibu muda berusia antara 20 hingga 30 tahun. Aku tidak tahu mengapa hal ini terjadi.
"Mungkin ada dokter tampan dan penuh kebaikan," kata Nia, suster yang selama ini telah membantu saya.
"Aduh, kamu selalu bisa mengatakan hal-hal seperti itu," sahut Tuti, yang bertugas mengurus administrasi praktek saya.
Tahu nggak, sehari-hari aku dibantu oleh dua wanita hebat itu. Mereka semua udah menikah. Aku juga udah menikah dan punya satu anak cowok yang baru berumur 2 tahun. Sekarang umurku udah mendekati 30 tahun.
Aku juga selalu mengikuti sumpah dan etika dokter dalam merawat pasien. Aku selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan mereka, dan nggak pelit waktu. Mungkin itulah yang bikin para ibu muda datang ke tempatku. Bahkan, mereka nggak cuma curhat soal penyakitnya, tapi juga masalah rumah tangga dan hubungan dengan suami. Aku selalu menanggapinya dengan profesional, nggak mau terlibat secara pribadi, karena aku mencintai istriku.
Semua berjalan seperti biasa, hingga suatu hari Ny. Varia tiba di meja praktekku. Saya harus mengakui, wanita muda ini sangat cantik dan seksi. Kulitnya kuning bersih seperti kebanyakan wanita keturunan Tionghoa, wajahnya mirip bintang film Hong Kong yang saya lupa namanya, tubuhnya langsing dan tinggi, dan yang paling mencolok adalah dadanya yang menonjol ke depan, bulat dan tegak. Terlebih lagi, sore itu dia mengenakan blouse bahan kaos yang ketat bergaris horizontal kecil-kecil berwarna krem, yang semakin mempertegas keindahan bentuk payudaranya.
Dengan mengenakan rok mini berwarna coklat tua yang membuat kakinya terlihat mulus, Varia, seorang pasien berusia 28 tahun, datang ke klinik. Saya menyapanya dengan ramah.
"Ada apa, Bu?" tanyaku.
Varia menjawab, "Dok, saya merasa sesak napas, hidung tersumbat, dan perut saya terasa mules."
"Sakit saat menelan?" tanyaku.
Varia mengangguk, "Ya, Dok."
"Apakah tubuhnya terasa panas?"
Sambil menempelkan telapak tangannya ke dagunya, Varia menjawab, "Agak panas, Dok."
Sepertinya dia mengalami radang tenggorokan.
"Lalu, mulesnya terasa di bagian belakang juga, Bu?"
"Iya, Dok," jawab Varia.
"Sudah berapa kali ini terjadi sejak pagi tadi?"
Varia berpikir sejenak, "Hmm... dua kali, Dok."
"Apa Bu ingat apa saja yang Bu makan kemarin?"
Varia berpikir sejenak, "Hmm... rasanya tidak ada yang istimewa. Saya hanya makan seperti biasa di rumah."
"Bagaimana dengan buah-buahan?"
"Oh ya, kemarin saya makan dua buah mangga," jawab Varia.
"Sekarang, coba Bu berbaring di sana. Saya akan memeriksa dulu."
Saat sang ibu muda menaikkan kakinya ke atas dipan yang agak tinggi, terlihatlah paha putih mulusnya yang memukau.
Seperti biasa, aku akan memeriksa pernafasannya terlebih dahulu. Namun, aku sempat bingung ketika melihatnya. Bukan karena dadanya yang tetap menonjol meskipun dia berbaring, melainkan karena kaos yang dipakainya tidak memiliki kancing di tengahnya. Seharusnya dia memakai baju yang memiliki kancing di tengahnya agar aku dapat dengan mudah memeriksanya.
Stetoskopku sudah terpasang di kuping Ny. Varia, rupanya dia tahu betapa bingungnya aku. Dia juga tidak kalah bingungnya.
"Hmmm, bagaimana ya, Bu?"
"Eh.. Hmmm.. Gini aja ya Dok," katanya sambil ragu-ragu melepas ujung kaos yang tertutup roknya dan menyingkap kaosnya, yang terbuka hingga mencapai puncak dua bukitnya. Perutnya yang mulus dan cup BHnya terlihat jelas.
Saat itu, aku mencoba untuk tenang. Sebenarnya, aku sudah terbiasa melihat dada wanita. Namun, kali ini Ibu membuka kaosnya dengan cara yang tidak biasa, yaitu dari bawah. Meskipun begitu, aku tetap menjaga sikap profesional dan tidak ada niat sedikitpun untuk berbuat lebih.
Jika seorang wanita berbaring, biasanya payudaranya akan terlihat lebih datar. Namun, payudara dari wanita muda ini berbeda, belahan payudaranya tetap terbentuk seperti lembah sungai yang terletak di antara dua bukit.
"Maaf Bu ya .." ucapku sambil mengangkat sedikit kaosnya. Tanpa bermaksud apa-apa. Hanya agar aku bisa dengan bebas memeriksa bagian dadanya yang tersembunyi.
"Enggak masalah, Dok," kata ibu itu sambil membantuku menahan kaosnya di bawah leher.
Karena kondisi dadanya yang menggelembung, stetoskop itu seakan-akan "terpaksa" menempel erat ke lereng-lereng bukitnya.
“Ambil nafas Bu.”
Meskipun tanpa menyentuh langsung, dengan menggunakan stetoskop, aku dapat merasakan kekenyalan dan kepadatan yang luar biasa dari payudara indah ini.
Tentu saja, ada banyak lendir yang mengisi saluran pernafasannya. Ibu ini sedang mengalami radang tenggorokan yang cukup mengganggu.
"Maaf, Bu," kataku sambil mulai mengetok perutnya. Diagnosis masalah perut mulas adalah prosedur standar.
Perut jelas halus, mulus, dan padat. Dalam kasus ini, saya dapat merasakannya dengan tangan saya sendiri.
Selain itu, jelas bahwa gejalanya mirip dengan disentri, penyakit yang muncul saat musim buah.
"Cukup, Bu."
“Bisa Ibu periksa sendiri. Sarari. Periksa payudara sendiri,” kataku dengan ramah.
“Tapi saya kan engga yakin, benjolan yang kaya apa..” sang wanita terlihat khawatir.
Aku memahami kekhawatirannya, tapi aku tidak bisa memeriksa langsung. Aku punya solusi yang lebih baik.
“Begini aja Bu, Ibu saya tunjukin cara memeriksanya, nanti bisa ibu periksa sendiri di rumah, dan laporkan hasilnya pada saya,” ujarku sambil tersenyum.
Aku memeragakan cara memeriksa kemungkinan ada benjolan di payudara, dengan mengambil boneka manequin sebagai model. Wanita itu tampak lega dan berterima kasih.
“Baik dok, saya akan periksa sendiri,” ucapnya dengan senyum.
“Nanti kalau obatnya habis dan masih ada keluhan, ibu bisa balik lagi,” tambahku memberikan saran.
“Terima kasih Dok,” ucapnya sambil berpamitan.
“Sama-sama Bu, selamat sore,” balasku sambil melambaikan tangan pada wanita muda cantik dan seksi itu yang berlalu pergi.
Setelah lima hari berlalu, Ny Varia muncul kembali di tempat praktekku, kali ini sebagai pasien terakhir. Penampilannya kali ini berbeda, ia mengenakan blouse berkancing yang sangat ketat, yang dengan bangga menampilkan keindahan buah dada yang sempurna bentuknya. Tidak seperti kunjungan sebelumnya yang hanya mengenakan kaos ketat. Meskipun demikian, ia masih memadukan penampilannya dengan rok mini yang menggoda.
“Tapi saya kan engga yakin, benjolan yang kaya apa..” sang wanita terlihat khawatir.
Aku memahami kekhawatirannya, tapi aku tidak bisa memeriksa langsung. Aku punya solusi yang lebih baik.
“Begini aja Bu, Ibu saya tunjukin cara memeriksanya, nanti bisa ibu periksa sendiri di rumah, dan laporkan hasilnya pada saya,” ujarku sambil tersenyum.
Aku memeragakan cara memeriksa kemungkinan ada benjolan di payudara, dengan mengambil boneka manequin sebagai model. Wanita itu tampak lega dan berterima kasih.
“Baik dok, saya akan periksa sendiri,” ucapnya dengan senyum.
“Nanti kalau obatnya habis dan masih ada keluhan, ibu bisa balik lagi,” tambahku memberikan saran.
“Terima kasih Dok,” ucapnya sambil berpamitan.
“Sama-sama Bu, selamat sore,” balasku sambil melambaikan tangan pada wanita muda cantik dan seksi itu yang berlalu pergi.
Setelah lima hari berlalu, Ny Varia muncul kembali di tempat praktekku, kali ini sebagai pasien terakhir. Penampilannya kali ini berbeda, ia mengenakan blouse berkancing yang sangat ketat, yang dengan bangga menampilkan keindahan buah dada yang sempurna bentuknya. Tidak seperti kunjungan sebelumnya yang hanya mengenakan kaos ketat. Meskipun demikian, ia masih memadukan penampilannya dengan rok mini yang menggoda.
“Tapi saya kan engga yakin, benjolan yang kaya apa..” sang wanita terlihat khawatir.
Aku memahami kekhawatirannya, tapi aku tidak bisa memeriksa langsung. Aku punya solusi yang lebih baik.
“Begini aja Bu, Ibu saya tunjukin cara memeriksanya, nanti bisa ibu periksa sendiri di rumah, dan laporkan hasilnya pada saya,” ujarku sambil tersenyum.
Aku memeragakan cara memeriksa kemungkinan ada benjolan di payudara, dengan mengambil boneka manequin sebagai model. Wanita itu tampak lega dan berterima kasih.
“Baik dok, saya akan periksa sendiri,” ucapnya dengan senyum.
“Nanti kalau obatnya habis dan masih ada keluhan, ibu bisa balik lagi,” tambahku memberikan saran.
“Terima kasih Dok,” ucapnya sambil berpamitan.
“Sama-sama Bu, selamat sore,” balasku sambil melambaikan tangan pada wanita muda cantik dan seksi itu yang berlalu pergi.
Setelah lima hari berlalu, Ny Varia muncul kembali di tempat praktekku, kali ini sebagai pasien terakhir. Penampilannya kali ini berbeda, ia mengenakan blouse berkancing yang sangat ketat, yang dengan bangga menampilkan keindahan buah dada yang sempurna bentuknya. Tidak seperti kunjungan sebelumnya yang hanya mengenakan kaos ketat. Meskipun demikian, ia masih memadukan penampilannya dengan rok mini yang menggoda.
“Bagaimana kabarmu, Bu? Sudah pulih?”
“Sudah, Dok. Kalau makan sudah tidak sakit lagi,”
“Bagaimana dengan perutnya?”
“Sudah enak, Dok.”
“Syukurlah. Lalu, ada keluhan lain?”
“Ada, Dok. Saya khawatir dengan benjolan yang saya rasakan.”
“Sudah diperiksa?”
“Sudah, Dok. Tapi saya tidak yakin apakah itu benjolan atau tidak.”
“Apakah terasa ada?”
“Iya, Dok. Terasa kecil, tapi saya tidak yakin.”
Dokter memeriksa dan memberikan penjelasan yang membuat Bu merasa tenang.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Apakah benar dia meminta aku untuk memeriksanya? Ah, jangan terlalu khawatir.
“Maaf Dok, bisakah... Saya ingin memastikan,” katanya setelah aku diam beberapa saat.
“Jadi, maksud Ibu, ingin saya yang memeriksanya?” kataku tiba-tiba, seakan-akan tidak bisa mengendalikan diri.
"Eh .. Iya Dok," ucapnya sambil tersenyum malu-malu. Wajahnya memerah. Senyuman manis itu semakin mengingatkanku pada seorang bintang film Hongkong yang namanya entah mengapa aku masih tidak ingat.
"Baiklah, jika Ibu menginginkannya," kataku dengan perasaan gugup. Ini adalah kesempatan yang datang secara tak terduga. Tak lama lagi, aku akan menyentuh buah dada yang bulat, padat, putih, dan mulus milik nyonya muda ini!
Oh ya, Lin Chin Shia, itulah nama bintang film tersebut, jika tidak salah ejaannya.
Tanpa diminta, Varia langsung menuju tempat pemeriksaan. Dia duduk dan mengangkat kakinya, lalu langsung berbaring. Jantungku berdebar kencang saat dia mengangkat kakinya ke atas pembaringan. Sesaat, aku melihat CD hitam yang dia bawa. Pahanya terlihat seksi dan membuatku gugup. Tiba-tiba, aku merasa terangsang oleh pasien untuk pertama kalinya.
“Silakan dibuka kancingnya Bu”
Varia membuka semua kancing bajunya, sehingga aku bisa melihat pemandangan yang sama seperti sebelumnya. Perut dan dadanya tertutup oleh BH berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih seperti pualam. Aku merasa terpesona oleh kecantikan Varia yang mempesona.
“Dada kanan Bu ya .”
“Benar Dok”
Maaf ya Bu," ucapku sambil mulai mengurut. Tanpa membuka cup-nya, aku hanya menyelipkan kedua telapak tanganku. Wow! sungguh padatnya buah dada wanita ini.
Aku mengurut pinggir-pinggir bulatan buah itu dengan gerakan berputar.
"Yang mana Bu benjolan itu?"
"Eehh... di dekat putting Dok, sebelah kanannya."
Aku memindahkan cup Bhnya ke bawah dengan hati-hati. Sekarang, lebih banyak bagian buah dadanya yang terlihat. Ini membuatku gemetar. Entah dia merasakan getaran jari-jariku atau tidak.
"Tolong bukakan saja, Dok," katanya tiba-tiba sambil tangannya langsung membuka kaitan Bhnya di punggungku tanpa menunggu persetujuanku. Oohhh, jangan begitu. Aku merasa tersiksa, tapi tidak apa-apa lah.
Cangkirnya melonggar. Daging bulat itu seakan dilepaskan. Dan Varia melepaskan cangkirnya sendiri...
Sekarang bulatan itu terlihat dengan jelas. Oh, begitu indah... benar-benar bulat, putih, halus, dan yang membuatku terpesona, putting kecilnya berwarna pink, merah jambu!
Saya melanjutkan urutan dan pencetan pada daging bulat yang menggoda ini. Tentu saja, sengaja atau tidak, beberapa kali jari saya menyentuh putting merah jambunya...
Dan... Putting itu membesar. Meskipun kecil, tapi menunjuk ke atas! Wajar saja. Wanita akan merespons ketika buah dadanya disentuh. Namun, yang tidak wajar adalah, Varia memejamkan matanya seolah sedang dirangsang!
Mungkin ada sedikit benjolan di sana, tapi ini bukan tanda kanker...
“Yang mana Bu ya .” Kini aku yang kurang ajar. Pura-pura belum menemukan agar bisa terus meremasi buah dada indah ini. Penisku benar2 tegang sekarang.
“Itu Dok . coba ke kiri lagi .. Ya .itu .” katanya sambil tersengal-sengal. Jelas sekali, disengaja atau tidak, Varia telah terrangsang .
“Oh . ini ..bukan Bu . engga apa-apa”
“Syukurlah”
"Enggak apa-apa kok," kataku sambil terus meremasinya, seharusnya sudah berhenti. Bahkan dengan nakalnya, telapak tanganku mengusapinya dengan keras! Tapi Varia membiarkan kelakuan nakalku. Bahkan dia merintih, sangat pelan, sambil terus merem! Untungnya aku cepat sadar. Aku melepaskan buah dadanya dari genggamanku. Matanya tiba-tiba terbuka, terlihat ada sinar kekecewaan sejenak.
"Cukup, Bu," kataku sambil mengembalikan cup ke tempatnya. Tapi...
Sejenak aku bimbang, aku teruskan atau tidak. Kalau aku teruskan, ada kemungkinan aku tak bisa menahan diri lagi, melanggar sumpah dokter yang selama ini kujunjung tinggi. Kalau aku tidak teruskan, berarti aku menolak keinginan pasien, dan terus terang rugi juga dong. Aku kan pria tulen yang normal. Dalam kebimbangan ini tentu saja aku memelototi terus sepasang buah indah ciptaan Tuhan ini.
"Kok bisa begitu, Dok?" Tanya yang tiba-tiba membuatku terkejut.
"Ah, tidak apa-apa... hanya terkesan saja," jawabku tanpa bisa mengendalikan kata-kataku. Aku merasa sedikit nakal, menggoda diriku sendiri dalam hati.
"Terkesan dengan apa, Dok?" Pertanyaan ini juga sedikit nakal. Sudah jelas sebenarnya.
"Dengan keindahan," ucapku lagi-lagi tanpa bisa menahan diri.
"Ah, dokter selalu saja... Keindahan apa, Dok?" Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.
"Semua hal," jawabku.
"Tidak kok, biasa saja," ucapnya. Ah, matanya... Mata yang begitu menarik!
"Saya minta maaf, Bu," ucapku sambil mengalihkan pembicaraan dan menghindari tatapan matanya.
Saat itu, aku merasakan sakit di dada kiriku dan kuremas dengan kedua tangan sesuai prosedur. Erangan yang semakin keras dan sering membuatku semakin khawatir. Matanya merem-melek, membuatku merasa bahwa ini bukanlah hal yang baik.
Tiba-tiba, Varia menuntun tanganku untuk pindah ke dada kanannya dan meremasnya dengan gerakan yang tidak biasa. Aku merasa heran, namun juga menikmati gerakan tersebut. Namun, aku sadar bahwa ini bukanlah gerakan Sarari, melainkan gerakan yang merangsang seksual.
Saat Varia semakin tak terkendali dengan rintihannya, kekhawatiran pun menyelimuti pikiranku. Aku takut kedua suster itu akan curiga. Namun, jika mereka memasuki ruangan ini, masih ada jaminan keamanan karena dipan-periksa ini ditutup dengan korden. Dan benar saja, aku mendengar suara orang yang memasuki ruang praktek. Tanpa ragu, aku memberikan isyarat untuk diam kepada Varia. Tanpa berpikir panjang, aku pun berakting seolah-olah tidak ada yang terjadi.
"Tarik napas, Bu," kataku sambil berpura-pura memeriksa. Aku bisa mendengar orang itu keluar lagi.
Tidak bisa melanjutkan ini, reputasiku yang baik selama ini bisa hancur.
"Sudah, Bu, tidak ada tanda-tanda kanker kok," kataku mencoba menenangkannya.
"Dok..." katanya dengan suara serak sambil menarik tanganku. Matanya terpejam dan mulutnya setengah terbuka. Kedua bulat matanya bergerak naik-turun mengikuti irama napasnya. Aku mengerti apa yang dia minta. Aku sudah terangsang. Tapi bagaimana mungkin aku memenuhi permintaan aneh pasienku ini? Di ruang pemeriksaan?
Gila!
0 Komentar