Enak Sekali Bercinta Dengan Teman Ku

INDOBOLAKU -  Sudah beberapa kali aku melihat smartphoneku, tapi tetap saja aku tidak percaya dengan apa yang kulihat: sebuah foto yang menampilkan diriku sedang berjalan di koridor rumah sakit tempatku bekerja. Foto itu sebenarnya biasa saja, tapi yang membuatku merasa deg-degan adalah fakta bahwa foto itu diambil dan dikirim oleh seseorang yang tidak seharusnya berada di sana.


Cerita dewasaDia adalah teman saya di Facebook. Saya belum pernah bertemu dengannya karena selama ini hanya ngobrol lewat Facebook Messenger saja. Jangankan ketemuan, dengar suaranya via telepon saja belum pernah. Saya sendiri memang membatasi jalur komunikasi.

Aku selalu menolak ketika ada teman Facebook yang meminta nomor HP, id LINE, atau pin BBM. Apalagi jika yang meminta adalah cowok seperti dia: sesama anggota grup penulis dan pembaca cerita dewasa.

Aku tak ingat bagaimana kami pertama kali bertemu, yang kuingat hanya belakangan ini kami sering berbincang dengan penuh semangat. Setiap malam kami saling mengobrol dan membahas berbagai hal, termasuk topik yang sensitif seperti seks. Semuanya dimulai dari berbagi cerita tentang cerpen dewasa yang kami sukai, dan dari situlah obrolan kami berlanjut ke imajinasi seksual yang kami berdua miliki.

GIF 1

Aku bukanlah perempuan yang bodoh dan tidak peka terhadap sinyal ketertarikan dari seorang cowok. Ketika aku memberikan sedikit isyarat, dengan jelas dia mengungkapkan bahwa dia kagum padaku. Dia mengatakan bahwa aku cantik dan memiliki kepribadian yang menggemaskan. Bahkan, dia mengakui bahwa aku telah menjadi fantasi seksualnya beberapa kali.

Aku merasa sangat terhormat mendengar pengakuannya. Siapa sih cewek yang tidak senang dipuji dan dipuja? Namun, itu tidak berarti aku bisa dengan mudah menerima kehadiran cowok yang selama ini melakukan masturbasi sambil melihat fotoku, kan?

Sekali lagi, aku melihat foto diriku di dalam buble chat Facebook Messenger. Aku masih belum membalas chat darinya, bingung dengan kata-kata yang ingin aku ketik. Lima menit berlalu begitu cepat, hingga akhirnya dia mengirim chat lagi.

Selamat kerja sayang… Pulang kerja kita ketemuan di cafe seberang rumah sakit ya..

"Ugh, dia bikin panik aja dulu, sekarang tiba-tiba panggil aku sayang dan suruh ketemu. 

Aku balas chatnya dengan tanya, 'Kamu mau apa?' 

Dia jawab, 'Mau ketemu sama bidadari yang selalu muncul di mimpiku setiap malam.' 

Aku bengong dan gak balas lagi. Akhirnya dia gak ngirim pesan lagi sampe shift kerjaku selesai jam 6 sore."

"Masih di sini, Dokter?" tegur senior saya saat saya sedang melamun menatap keluar jendela, ke arah kafe tempat dia berada.

"Iya, sebentar lagi Dok," jawab saya sambil menyimpan perlengkapan makeup ke dalam tas.

"Tumben kamu dandan cantik banget sore ini? Mau kemana?" tanya senior saya lagi. Saya merasakan nada cemburu dalam bicaranya.

Dokter Chandra adalah seorang yang sangat menyukai diriku. Bukan hanya aku yang mengetahuinya, tapi juga seluruh staf di rumah sakit ini. Mereka semua bisa melihat betapa gigihnya dia berusaha mendapatkan hatiku. Namun, sayangnya hatiku tidak merasakan hal yang sama. Aku tidak pernah mencintainya, meskipun juga tidak membencinya atau menjauhinya. Hubungan kami hanya sebatas menjadi dekat selama 2 bulan, kemudian berakhir begitu saja. Jika memang tidak cocok, tidak ada gunanya memaksakan hubungan yang tidak akan berjalan dengan baik.

GIF 2

"Saya akan bertemu teman di kafe depan, Dok," jawab saya sambil tersenyum.

"Teman siapa nih?" tanya dokter Chandra dengan nada bercanda. Namun, candaannya justru membuat suasana menjadi canggung.

"Saya hanya bertemu teman biasa, Dok. Tidak ada yang istimewa," jawab saya mencoba mengembalikan suasana menjadi santai.

"Baiklah, semoga kamu bersenang-senang ya!" ucap dokter Chandra.

"Terima kasih, Dok. Sampai jumpa besok!" ucap saya sambil berpamitan.

Baru saja keluar dari ruang dokter, aku langsung menyesal. Kok tadi aku bilang mau ketemu teman di cafe depan ya? Sekarang nggak ada pilihan lain, aku harus ke sana karena mata dokter Chandra terus mengawasi setiap langkahku, memastikan bahwa aku benar-benar pergi ke cafe dan tidak berbohong padanya.

Dari seberang jalan, cafe di depanku tiba-tiba terlihat begitu menakutkan. Seperti mengirimkan pesan bahwa aku tak berdaya dan tak berarti di hadapannya. Perasaan cemas melanda dadaku dan aku pun terburu-buru saat menyeberang, seolah-olah takut dipermainkan oleh takdir yang kejam.

‘TIIIINNN!!!’

Saat aku tengah asyik berkhayal, tiba-tiba terdengar suara klakson motor matic dari belakang mobil yang membuatku terkejut. Aku segera melihat sekeliling dan ternyata semua orang menatapku, termasuk beberapa staf rumah sakit dan dokter Chandra. Aku merasa cemas, jika orang-orang di seberang jalan saja melihat, bagaimana dengan pengunjung di kafe ini? Apakah dia juga melihatku? Aku merasa terjebak dan tidak bisa kabur dari situasi ini.


Aku dengan semangat mendorong pintu cafe dan melangkah masuk. Dentingan 3 lonceng kecil menggema saat pintu terbuka, seolah-olah menyambut kedatanganku dengan hangat. Begitu aku melihatnya, hatiku langsung berdebar-debar dan aku segera mendekatinya, dia yang begitu menginginkan kehadiranku..

Dia dengan ramah mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, sambil mengucapkan 

"Hai.." dengan senyum yang hangat. Aku dengan senang hati menyambut tawarannya, menunjukkan sopan santun.

Kami tidak saling menyebutkan nama seperti orang yang baru bertemu. Bahkan setelah 30 detik aku duduk, kami masih terdiam tanpa berbicara. Aku melihatnya, dia persis seperti yang ada di foto profil Facebooknya. Meskipun tidak tampan, untungnya dia juga tidak jelek. Badannya juga tidak ideal, meski dia duduk dengan postur yang tegak.


"Dapat bertemu langsung denganmu sungguh menyenangkan!" ucapku dengan gembira. Dia akhirnya memecahkan keheningan.

"Aku malu nih haha.." kataku jujur sambil menunduk dan menggelengkan kepala.

"Kenapa malu?" tanyanya heran. "Kamu kan waktu chat selalu ceria, polos, jujur, dan tidak munafik."

Yaa.. sebenarnya begitu... Aku terlalu jujur denganmu," jawabku dengan ragu. "Mungkin aku berani seperti itu karena menganggapmu hanya sebagai teman di dunia maya... Sekarang, dengan kehadiranmu di sini, aku merasa bingung harus bertindak bagaimana."

Setelah aku mengucapkan itu, dia tersenyum dengan senang, "Jadi itu sebabnya kamu tidak pernah mau memberikan nomor HPmu ya."

"Menurutku sih, di chat aja omongannya udah vulgar, apalagi kalau dikasih nomor HP!" jawabku dengan nada tegas.

Tiba-tiba, dia melepaskan tawa. Tawanya terdengar ceria dan puas.

"Apa yang membuatmu tertawa?" tanyaku dengan nada kesal.

"Jangan terlalu kaku, deh," katanya memberikan saran. "Santai saja..."

"...supaya lebih mudah mengerti?" lanjutku. Kami berdua tertawa. Itu adalah salah satu lelucon kotor yang sering kami lemparkan saat sedang chatting.

Setelah tawa kami mereda, dia melemparkan senyuman. Matanya menatap mataku dengan lama. Aku bahkan bisa melihat bayanganku terpantul di bola matanya yang hitam.

"Kamu persis seperti apa yang aku bayangkan selama ini," katanya sambil meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiriku yang terletak di meja.

Mendengar kalimat itu, pikiranku langsung melayang ke cerita tentangnya yang selalu menggambarkanku sebagai pasangannya di ranjang. Apakah seharusnya aku menghentikan tangan ini yang sedang bertumpu di atas meja?

Saat aku hanya diam dan tidak berusaha menarik tangannya, dia bertanya dengan penasaran, "Kamu gak takut sama aku kan?" Segera aku mengambil napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanianku dan menjawab pertanyaannya.

"Takut? Tentu saja tidak." Aku berbicara dengan suara pelan. Meskipun kami duduk di sudut kafe, aku masih khawatir ada pengunjung yang bisa mendengar percakapan kami. "Tapi, kamu sering bercerita tentang hobimu yang hardcore saat ML dan beberapa kali kamu membayangkan aku di-gangbang. Itu gila, tahu tidak?"

"Demi kejujuran, aku hanya ingin menjadi jujur denganmu," jelasnya sambil tersenyum manis. "Meskipun aku terkadang kasar, itu tidak berarti aku datang ke sini dengan niat melecehkanmu, kan?"

"Lalu, apa tujuan sebenarnya kamu datang ke sini?" tanyaku langsung.

"Dikau menginginkan aku melakukan apa?" tanyanya balik. Pikiranku langsung melayang pada preferensi seksualnya. Dia tersenyum melihatku bungkam tanpa menjawab.

"Tiba-tiba dia bertanya, 'Kamu jarang melakukan ML ya?' Aku memang belum pernah membicarakan kehidupan seksualku, hanya dia yang suka berbagi cerita. 'Kalau aku boleh menebak, kamu hanya tahu tentang seks dari cerpen-cerpen dewasa yang kamu baca kan?'"

Aku terdiam memerhatikan tebakannya.

"Ketika diam, kamu setuju," ujarnya sambil melanjutkan. "Namun, kamu memiliki ketertarikan pada topik seksual. Oleh karena itu, kamu sering membaca cerita dewasa, memiliki akun di forum dewasa, dan bergabung dengan grup cerita dewasa... Bahkan, kamu bertemu denganku dengan harapan ada sesuatu yang terjadi antara kita, bukan begitu?"

Pikiranku dengan tegas menolak tuduhannya. Namun, anehnya, bibirku tetap terkatup erat seakan menolak untuk bicara.

“Hanya perkiraanku saja,” lanjutnya. “Tapi sejujurnya, aku terkejut kamu mau bertemu denganku di kafe ini...

“Aku berpikir setelah tiba-tiba aku mendatangi kamu dan mengambil foto kamu, kamu akan merasa takut, kemudian menjauhi aku dengan diam-diam keluar melalui pintu belakang rumah sakit dan memblokir akun Facebook-ku.”

"Saya bingung juga mengapa saya datang ke sini untuk bertemu denganmu," ucap saya dengan lega. Akhirnya saya bisa mengeluarkan kata-kata dari mulut saya. "Sebenarnya, saya sangat takut ketika kamu mengirimkan foto saya tadi siang."

Dia berkata, "Aku tahu alasanmu datang ke kafe ini. Kamu percaya padaku, kan?"

Dengan penuh usaha, dia mencoba menenangkanku, "Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku selalu jujur denganmu. Aku datang dari jauh hanya untuk mengunjungi rumah sakit tempat kamu bekerja sebagai dokter PTT di lokasi terpencil. Aku ingin bertemu denganmu secara langsung, mendengar suaramu, dan melihat pipi chubbymu."

“Yakin cuma mau itu doang? Gak mau lihat yang lain?” tanyaku menggoda.

Dia tertawa. "Kalau dikasih ya aku gak nolak hahaha..." kata-kata itu terlontar dari bibirnya dengan riang. Belum sempat aku mengejeknya, cowok di depanku ini melanjutkan dengan ucapan yang membuat hatiku meleleh. "Aku cuma mau ketemu kamu. Titik. Terima kasih banget kamu sudi menemui aku, sekarang aku ngikut maunya kamu aja."


Saat mendengar kata-katanya, hatiku berbunga-bunga. Aku merasa begitu istimewa karena dia hanya ingin bertemu denganku. Dia menawarkan dirinya dengan tulus, tanpa pamrih. "Kamu mau aku pergi, aku akan pergi. Cuma yaa... tentu aku akan sangat bahagia sekali kalau kamu mau menemaniku malam ini," lanjutnya dengan penuh harap.

Tawanya yang riang dan kata-katanya yang penuh perhatian membuatku tak bisa menolaknya. Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Malam ini, aku akan menghabiskan waktu bersamanya, menikmati kebersamaan yang begitu berharga.

“Nemenin apa nenenin?” aku meledek.

"Hahaha..." dia tertawa. Lagi-lagi candaan yang sering kami gunakan saat chatting tengah malam.

"Intinya aku cuma berusaha. Aku datang ke jauh-jauh ke lokasi terpencil ini, tapi toh pada akhirnya kamu yang memutuskan untuk menemuiku di cafe ini kan?

"Begitupun nanti, maaf kalau aku menggoda kamu karena aku selamanya akan menjadi cowok yang naksir kamu," katanya. "Tapi kamu yang akan menentukan hasil akhirnya akan menjadi seperti apa."

Semua keputusan ada di genggamanku. Tanganku masih memegang erat seperti tak ingin melepaskan. Tiba-tiba, seorang pelayan menghampiri meja kami dengan sopan dan bertanya apakah dia boleh mengambil cangkir kosong. Pria di hadapanku memberikan izin sambil memesan air mineral yang tidak dingin. Pelayan itu kemudian menoleh ke arahku dan bertanya apakah anda ingin memesan sesuatu. Karena sering datang ke sini, dia mengenali saya dengan baik.

"Lemon tea satu," jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku menatap langsung ke wajah tampan cowok yang memegang erat tanganku.

"Pesanannya akan saya ulang: ice lemon tea satu, air mineral tanpa dingin satu," kata pelayan dengan pasti. "Pesanan kalian akan segera diantar dalam waktu maksimal 10 menit."

"Kamu mau minum apa?" tanya dia setelah pelayan pergi.

"Apa alasannya?" tanyaku balik.

"Tidak apa-apa," dia tersenyum. "Aku senang karena itu berarti kamu mau menemaniku."

"Aku lemah terhadap pria yang gigih," kataku sambil merasa malu.

"Seperti Dokter Chandra?" godanya.

"Aku rasa aku terlalu banyak bercerita padamu, ya?"

Tanpa kami sadari, waktu berlalu begitu cepat selama 4 jam dan 2 gelas ice lemon tea habis diminum. Aku berharap setelah memberikan sinyal hijau, dia akan segera memulai aksinya untuk membuatku tertidur. Namun, ternyata kami hanya mengobrol santai tanpa membahas hal-hal yang berbau seks. Meskipun begitu, dia berhasil membuatku tertawa beberapa kali dan ternyata dia memiliki sisi humoris yang menyenangkan

TAMAT



Posting Komentar

0 Komentar